Rabu, 19 September 2012

Islam Sumber Peradaban ??


Islam sebagai Sumber Budaya  dan Peradaban

Sejumlah pihak  mengatakan bahwa agama Islam setingkat dengan kebudayaan Islam. Dalam frame tertentu ini dinilai para pakar Muslim hal yang dapat menyesatkan dan mengacaukan citra dan kemurnian Islam. Dengan menyetingkatkan antara Agama Islam dengan Kebudayaan Islam, maka ini berarti mereka telah menyetingkatkan antara agama (yang berasal dari Allah)
dengan kebudayaan (yang merupakan hasil cipta orang Islam), yang berarti pula menyetingkatkan antara wahyu dengan akal. Berpendapat bahwa kebudayaan Islam merupakan bagian dari din Islam ini berarti menunjukkan bahwa ia telah memasukkan unsur-unsur yang aqli (hasil cipta orang Islam) ke dalam din Islam, dan ini berarti pula bahwa mereka telah mencampur adukkan antara wahyu dengan akal manusia.
Dalam pandangan kelompok fundamentalis, pola pemikiran dan ide demikian dianggap sangat berbahaya dan menyesatkan, karena dalam akidah Islam telah dijelaskan bahwa Islam seluruhnya adalah wahyu, tidak ada bagian-bagian kebudayaan Islam didalamnya. Agama atau wahyu tidak setingkat dengan kebudayaan Islam, karena agama atau wahyu berasal dari Allah sedangkan kebudayaan Islam merupakan hasil cipta, rasa dan karsa manusia. Oleh karena itu, pemikiran dan ide itu  harus ditolak dan tidak dapat dibenarkan.
Sementara itu, para pemikir Barat juga memandang Islam sebagai produk kebudayaan, misalnya disampaikan oleh H.A.R. Gibb yang mengatakan bahwa “Islam is indeed much more than a sistem of theology it is a complete civilization” .(Islam sesungguhnya lebih dari satu sistem teologi. Ia adalah satu peradaban yang lengkap). Pendapat Gibb ini patut apabila dikemukakan oleh kelompok orientalis, tetapi apabila begitu saja ditelan mentah–mentah oleh ilmuan Islam akan melahirkan pemahaman yang cukup rancu,
Memang diakui bahwa antara agama dan budaya adalah dua bidang yang berhubungan dan tidak dapat dipisahkan, akan tetapi keduanya berbeda. Agama bernilai mutlak, tidak berubah karena perubahan waktu dan tempat. Sedangkan budaya , sekalipun berdasarkan agama dapat berubah dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. Sebagian besar budaya didasarkan pada agama, namun tidak pernah terjadi sebaliknya, agama berdasarkan pada budaya. Oleh karena itu bisa dikatakan agama adalah primer dan budaya adalah sekunder. Budaya bisa merupakan ekspresi hidup keagamaan, karena itu kebudayaan sub ordinat terhadap agama, dan tidak pernah sebaliknya.
Agama pada hakekatnya mengandung dua kelompok ajaran yaitu:
·         Ajaran dasar yang diwahyukan Tuhan melalui para Rasulnya kepada manusia yang ajarannya terdapat dalam kitab-kitab suci. Karena merupakan wahyu dari Tuhan, maka ajaran tersebut bersifat absolut, mutlak benar, kekal, tidak berubah dan tidak bisa diubah.
·         Ajaran yang berupa penjelasan dari kitab suci (baik mengenai arti maupun cara pelaksanaan) yang dilakukan oleh pemuka atau ahli agama. Karena merupakan penjelasan dan hasil pemikiran pemuka atau ahli agama, maka ajarannya bersifat relatif, nisbi, berubah dan dapat diubah sesuai dengan perkembangan zaman.

Dalam Islam, kelompok pertama terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadist Mutawatir. Al­Qur’an terdiri dari 6.300 ayat, tetapi yang mengatur tentang keimanan, ibadah, muamalah dan hidup kemasyarakatan manusia, menurut penelitian ulama tidak lebih dari 500 ayat. Ajaran dasar Islam (al-Qur’an dan al-Sunnah yang periwayatannya shahih) bukan termasuk budaya, tetapi pemahaman ulama terhadap ajaran dasar agama merupakan hasil karsa ulama. Oleh karena itu ia merupakan bagian dari kebudayaan. Akan tetapi umat Islam meyakini bahwa kebudayaan yang merupakan hasil upaya ulama dalam memahami ajaran dasar agama Islam, dituntun dan memperoleh petunjuk dari Tuhan, yaitu al-Qur’an dan Sunnah. Hal inilah yang kemudian disebut sebagai kebudayaan Islam.
Islam dikemukakan oleh Bassam Tibi [1] yaitu bahwa Islam merupakan sistem budaya. Menurutnya Islam sebagai sistem budaya terdiri atas berbagai simbol yang berkorespondensi dan bergabung untuk membentuk suatu model untuk realitas. Meski demikian dalam posisi tersebut agama tidak dapat dipenetrasikan secara eksperimental, tetapi hanya sebatas interpretatif. Dalam agama, konsepsi manusia mengenai realitas tidak didasarkan pada pengetahuan tetapi pada keyakinan terhadap suatu otoritas ketuhanan yang terkonsepsikan dalam kitab suci (Al-Qur’an). Al-Qur’an inilah yang mendasari semua bentuk realitas. Selanjutnya konsep– konsep realitas yang dihasilkan manusia ini mengalami perubahan yang paralel. Adaptasi dari konsep–konsep religiokultural dengan realitas yang berubah kemudian membentuk suatu komponen sentral dalam asimilasi budaya untuk perubahan. Dengan cara itulah perubahan terarah, karena orang tidak begitu saja memberikan reaksi terhadap proses perubahan dengan menggunakan inovasi budaya.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa  hakekat  agama memiliki aspek ganda yakni :
·         Memberikan arti terhadap berbagai aspek realitas sosial dan psikologis bagi para penganut-penganutnya, sehingga mendapatkan suatu bentuk konseptual yang obyektif.
·         Agama dapat berwujud oleh realitas dan pada saat yang sama membentuk realitas yang sesuai dengan realitas. Artinya interpretasi simbol-simbol religiokultural membentuk bagian realitas, karena simbol–simbol tersebut juga mempengaruhi realitas. Pada saat yang sama perwujudan (pengamalan) dari simbol–simbol kepada realitas empirik membentuk sebuah pola yang terstruktur dalam bentuknya yang biasa dikenal dengan kebudayaan dan peradaban.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Islam adalah sumber dari kebudayaan dan peradaban Islam yang ada. Landasan Peradaban Islam adalah Kebudayaan Islam, terutama wujud idealnya. Jadi, Islam bukanlah kebudayaan akan tetapi dapat melahirkan kebudayaan. Kalau kebudayaan merupakan hasil cipta, rasa dan karsa manusia, maka Islam adalah realitas pewahyuan dari Tuhan.



0 komentar:

Posting Komentar