Dipertemukan Kahar Muzakkar
Dijadikan penasehatnya..?’
Perjalanan hidup
terus bergulir dengan segala dinamika yang mengiringinya? Hingga pada suatu
hari, tepatnya tanggal 18 juli 1955, mobil yang dikemudikan oleh Abdullah
Giling, sopir (sebelumnya adalah pembonceng) merangkap sekretaris Gurutta,
dicegat sekelompok orang bersenjata lengkap di Desa Belang-Belang Kab. Maros.
Awalnya, Abdulllah Giling mengira pasukan tersebut adalah tentara yang sedang
latihan perang-perangan. Ketika mobil berhenti, anggota pasukan bersenjata
itu
membuka topi bajanya dan berhamburanlah rambut panjang melampaui punggung
pemiliknya, ciri khas pasukan pemberontak. Yakinlah mereka kalau sedang
dihadang oleh gerombolan separatis DI/TII pimpinan Kahar Muzakkar. Waktu itu
DI/TII memang banyak mengajak kaum ulama untuk dibawa masuk ke hutan dan
dijadikan penasehat Kahar Muzakkar. Yang menolak akan diambil secara paksa
(diculik) seperti yang terjadi pada Gurutta KH. Abd. Rahman Mattammeng. Pasukan
gerombolan tersebut tidak memberikan kesempatan Gurutta Ambo Dalle untuk
berbicara dan langsung dinaikkan ke atas usungan. Gurutta lalu dibawa masuk ke
hutan yang menjadi basis perjuangan mereka untuk bergabung dengan anak buah
Kahar Muzakkar. Niat pimpinan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia itu untuk
menculik Gurutta Ambo Dalle memang sudah lama. Ketika Gurutta dihadapkan kepada
Kahar Muzakkar, tokoh pemberontak ini tampak gembira, “Alhamdulillah, Pak Kiai
sudah di tengah-tengah kita, Insya Allah dengan doa Pak Kiai, perjuangan kita
akan mencapai kemenangan,” kata Kahar Muzakkar.
Di dalam hutan, dengan pengawalan yang
cukup ketat dari para gerilyawan, Gurutta sama sekali tidak punya peluang untuk
keluar dari hutan dan kembali ke kota? Maka, terbersitlah pikiran Gurutta agar
lebih baik melanjutkan misi pendidikan Islam seperti yang ia cita-citakan sejak
kecil. Pengajian dilakukan pada anggota DI/TII dan keluarganya di hutan.
Gurutta Ambo Dalle dengan faham Ahlusunnah Wal Jamaah tampaknya mendapat
benturan dengan sebagian anggota Kahar Muzakkar yang menganut faham Wahabi dan
sebagiannya lagi tidak menghiraukan mazhab. Maka tidak mengherankan jika sering
terjadi konflik antara beliau dengan Kahar Muzakkar dan pengikut setianya.
Selama delapan tahun Gurutta berada di
hutan di tengah kancah perjuangan idealisme kaum gerilyawan DI/TII, selama itu
pula Kahar Muzakkar tidak pernah jauh dari Gurutta? Kemana ia pergi Gurutta
selalu diikutkan. Kalau ada pasukan yang terluka kena tembakan dari serangan
TNI, Gurutta mengobati hanya dengan air putih yang ia doakan, berangsur-angsur
luka itu sembuh dan sang prajurit itu berguru dan menjadi murid Gurutta.
Pada tahun 1963, Operasi Kilat yang
dilancarkan oleh pemerintah (TNI) semakin menekan kaum pemberontak itu sehingga
kekuatan mereka kian lemah dan terpecah-pecah. Gurutta pun tidak pernah lagi
mendapatkan pengawalan seperti sebelumnya. Hal itu digunakan oleh Gurutta untuk
mencari kontak dengan TNI dan berusaha keluar dari hutan. Beliau dijemput oleh
TNI dipimpin A. Patonangi yang memang sudah lama mencarinya dan langsung dibawa
menghadap Panglima Kodam XIV Hasanuddin- waktu itu Kolonel M.Yusuf. Pertemuan
itu sangat mengharukan dan suasana hening pun terjadi dalam ruangan, layaknya
pertemuan seorang anak dengan orang tuanya yang sudah lama memendam rindu, baru
berjumpa setelah berpisah sekian lama. Sungguh banyak hal yang bisa dipetik
dari pengalaman selama di hutan, namun yang pasti Gurutta lebih menuai
kebijaksanaan dan kearifan dalam menilai semua itu.
Kiprahnya dalam Perjuangan
Keteguhan sikap Anregurutta tak lekang
di setiap peristiwa dan pergolakan yang beliau lalui dalam perjalanan hidupnya?
Ketika terjadi pemberontakan G-30 S/PKI, Gurutta Ambo Dalle yang ketika itu
berdomisili di Parepare, tak bergeming dan tetap kukuh dengan prinsip dan
keyakinannya. Pada waktu itu Anregurutta berpesan pada santrinya agar tetap
berpegang teguh pada akidah Islam yang benar, jangan terpengaruh dengan gejolak
yang terjadi dalam masyarakat.
Secara fisik, Anregurutta H.
Abdurrahman Ambo Dalle tidak pernah secara langsung memanggul senjata melawan
penjajah. Namun, kediamannya tak pernah sepi dari para pejuang yang minta
didoakan keselamatannya. Misalnya, ketika Lasykar Pemuda Pejuang Sulawesi
Selatan yang tergabung dalam Tentara Republik Indonesia Persiapan Sulawesi
(TRIPS) di bawah pimpinan Andi Mattalatta hendak melakukan ekspedisi ke Jawa
pada tahun 1946, mereka menemui Anregurutta untuk didoakan keselamatannya dalam
memperjuangakan bangsa dan negara. Demikian juga saat mereka kembali dari Jawa
dan hendak melakukan Konferensi Kelasykaran di Paccekke pada tanggal 20 Januari
1947 atas mandat Jenderal Sudirman. Kebetulan, letak Mangkoso bersebelahan
dengan Paccekke, tempat berlangsungnya konferensi yang melahirkan Divisi TRI
Sulawesi Selatan/Tenggara sebagai cikal bakal Kodam XIV Hasanuddin (sekarang
Kodam VII Wirabuana).
0 komentar:
Posting Komentar